Rabu, 22 Januari 2014

Cerita (tentang) Sepi, pada Malam

Hai malam..
Kali ini lagi-lagi kita (harus) berjumpa. Mengucapkan selamat malam kepada orang-orang tercinta. Tersenyum kepadamu dan (juga) kepada mereka.

Hai malam..
Bagaimana kabarmu saat ini? Mendungkah langitmu disana? Atau mungkin justru bintang dan bulan sedang menari bersama cahayanya? Semoga saja begitu..

Hai malam..
Apa kau tau bagaimana rasanya sepi? Kemarilah,, biar ku ceritakan rasanya.
Disini aku duduk sendirian, ditemani laptop dan udara dingin bekas hujan sore tadi.
Aku masih disini, di kota kecil sebelah ibukota Sulawesi Selatan.

Sepi. Mungkin sebaiknya ku ajak kau berkenalan dengannya dahulu.
Sepi. Dia kini menjadi sahabatku. Menjadi teman setiaku untuk melalui 24 jam dalam sehari.
Sepi. Dia kini adalah pendengar setia ku. Setia mendengarkan tawa, tangis, bahkan teriakan dari suara sumbangku.
Sepi. Dia juga pengamatku. Mengamatiku dalam setiap tingkah dan laku yang ku perbuat, meski tanpa ekspresi.
Sepi. Dia penjahat. Yang selalu menyiksaku ketika ia datang berkunjung di waktu yang tak tepat.
Sepi. Dia pembunuh. Pembunuh setiap mimpi yang telah ku tata dengan senyuman. Pembunuh setiap ketegaran diri yang telah ku bangun. Pembunuh seluruh cerita indah yang pernah ku jalani.
Dia lah sepi. Yang aku pun tak tau mengapa menjadi satu-satunya yang paling setia ada didekatku.

Kau tau malam? Sejak dahulu aku tak pernah berharap bisa bersahabat dengan sepi. Karena bagiku, sepi adalah pembangun. Pembangun seluruh kenangan yang telah kululuhlantakkan. Namun ternyata, pada akhirnya aku harus jua bersahabat dengannya. Mengumpulkan kenangan-kenangan hanya untuk ku nikmati bersamanya.

Kau tau malam? Aku masih ingat, kapan pertama kalinya sepi datang menawarkan persahabatan. Kala itu, ketika aku kehilangan "sahabat"ku. Tapi, kali ini aku tak ingin membahasnya. Sepi berikutnya datang ketika aku harus terpisah jauh dari kakak dan adikku. Membuatku terperangkap dalam diam dan segaris senyum. Yah, semuanya berawal dari sana. Sepi selalu muncul, serasa ia nyaman bersamaku. Ia kembali hadir ketika kesibukan menjemput kedua orangtuaku. Membuat mereka ikut arus dan tenggelam bersama urusan kantor. Sepi ternyata tertawa. Semakin hari semakin rajin ia datang, hingga pada suatu hari aku merasa menang darinya. Aku tertawa ketika ia tak lagi datang. Sepi ternyata malu untuk kembali mengunjungiku. Aku punya penggantinya. Sosok cinta yang muncul menjadi warna. Bukan lagi warna gelap dan mendung. Meskipun ternyata, hanya bertahan tidak lama. Tiga tahun, yah, mungkin hanya selama itu.

Aku tak pernah berfikir bahwa sepi akan datang kembali kepadaku. Tertawa bersamaku bahkan menjadi sahabatku. Setelah tiga tahun itu, sepi setiap hari selalu datang berkunjung kepadaku. Yang hanya diam disekitarku dan memelukku dengan dinginnya. Terkadang, air mata yang mengalir dipipiku pun tak lagi kusadari. Ketika tak ada lagi seorangpun yang mau mendengarkan cerita-cerita perasaanku. Tak ada, malam. Hanya sepi dan (sesekali) hujan yang tak pernah jenuh mendengarkannya. Meskipun cerita itu telah berulang kali kuceritakan pada mereka. Aku kehilangan sahabat-sahabat nyata ku. Aku kehilangan mereka sepenuhnya. Tak ada sama sekali, bahkan hanya untuk waktu sejenak.

Malam,, terkadang aku tak ingin berjumpa denganmu. Maafkan aku. Tapi aku kadang benci dengan kehadiranmu. Benci ketika kau datang bersama sepi dan hujan. Aku tersiksa. Kalian bagaikan memelukku dengan erat. Erat sekali. Hingga aku tak lagi dapat menghirup udara sejuk diluar sana. Kadang aku tak ingin berjumpa denganmu. Kau tau kenapa, malam? Karena dulu, kaulah satu-satunya yang selalu kunanti dalam 24 jam (selain dia).Kuhabiskan kau dengan canda tawa, bahkan sesekali perkelahian. Aku tau, kau masih menyimpan seluruh kenangan itu kan? Dan karena itu lah kau selalu hadir bersama sepi untuk mengunjungiku. Aku lelah, malam. Aku tersiksa. Namun inilah realita yang harus kulalui. Sepi, hujan dan malam adalah sahabatku kini. Sahabat yang memelukku dengan cintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar